BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kebaradaan Istilah pribumi dan non pribumi kerap menjadi penyebab terpecah belahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat, si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
Biasanya orang yang merasa dirinya pribumi akan bertindak diskriminatif terhadap orang lain yang dianggapnya sebagai non pribumi, sehingga tidak terciptanya nilai-nilai bhineka tunggal ika yang menyatukan seluruh warga negara Indonesia.
Identifikasi Masalah
Dalam makalah kali ini ada beberapa permasalahan yang akan di bahas yaitu:
1) Penjelasan Pasal 26 UUD 1945
2) Pengertian “Pribumi dan Non Pribumi”
3) Sikap Mahasiswa Dalam Menghadapi Isu Pribumi dan Non Pribumi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penjelasan Pasal 26 UUD 1945
· Ayat (1) : Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Dalam Ayat satu dijelaskan bahwa Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia
· Ayat (2) : Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Bukan Penduduk, adalah orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa.
Istilah Kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara, atau segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan dalam arti : 1) Yuridis dan Sosiologis, dan 2) Formil dan Materiil.
· Ayat (3) : Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang.
Manurut ayat 3 saudah pasti semua hal tentang warga Negara akan di atur oleh undang-undang yang berlaku,karena undang-undang menjadi dasaranya berlakunya suatu Negara.
2. Pengertian Pribumi dan Non Pribumi
Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing, maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia.
Pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
3. Sikap Mahasiswa Dalam Menghadapi Isu Pribumi dan Non Pribumi
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada pasal 26 UUD 1945 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Isu pribumi dan pribumi timbul di karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita, sehingga timbul kekuatan kelompok, kelompok sparatis masyarakat dengan orientasi mementingkan kelompoknya dengan mengatas namakan penduduk pribumi Indonesia. Padahal di dalam Pasal 26 UUD 1945 telah menjelaskan bahwa Istilah Pribumi dan Non Pribumi itu tidak ada, karena yang ada hanyalah Warga Negara Indonesia/Penduduk Indonesia.
Adanya 'bangsa' dan 'rumpun bangsa' yang exodus karena tak mampu mengatasi
keadaan alam yang semakin kurang menguntungkan, atau karena terdesak oleh
'rumpun bangsa' lain baik dalam persaingan daerah perburuan maupun dalam
pertempuran, adalah sesuatu yang wajar, dan sukar diukur dengan pandangan
hukum dan keadilan pada masakini. Semua sudah menjadi kenyataan yang harus
diterima oleh generasi sekarang. Kita sudah menjadi penduduk negeri ini, dan
bumi ini menjadi tanahair kita. Dan tetap adasaja kelompok manusia yang
berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka adalah pendatang baru. Tetapi
setelah jangkawaktu tertentu atau generasi berikutnya, mereka adalah juga
penduduk negeri. Pembauran terjadi dengan tingkat yang berbeda-beda. Penulis
sendiri juga sudah tak tahu berapa persen campuran darah yang ada dalam badan
dirinya, tak perlu dirisaukan. Dan yakin bahwa tak seorangpun yang bisa
menjamin 'kemurnian' darah seseorang, karena ukuran 'murni' pun tak ada.
Beberapa ratus tahun yang lalu ketika tanahair kita ini mulai dicaplok oleh
penjajah Belanda, mulailah timbul masalah bangsa yang mencolok antara pribumi,
orang kulit putih, dan orang Timur-Asing . Pengkotakan begini memang sengaja
dilakukan oleh penjajah. Celakanya ada kalangan yang berminat mewairisinya,
puluhan tahun setelah penjajah Belanda terusir.
Kita tidak menyangkal adanya perbedaan antara pribumi dengan non-pribumi,
sebagaimana juga perbedaan antar suku-suku yang berlainan. Akan tetapi tidak
seharusnya menitik beratkan persoalan di sini, apalagi mempertentangkan
"pribumi" dan "non-pribumi" (yang biasa dimaksudkan adalah peranakan Tionghoa).
Hakekat sesungguhynya bukanlah sebagaimana dinyatakan sementara orang:"non-
pribumi menjajah pribumi" dan harus diselesaikan dengan "membela pribumi" dan
melempar "non-pribumi" ke laut. Masalah sesungguhnya ada pada penguasa.
Pemerintah yang berkuasa sekarang ini adalah pemerintah bobrok yang samasekali
tidak adil, satu pemerintah yang penuh kolusi dan korupsi, adalah pemerintah
yang hanya menggendutkan perut segelintir penguasa dengan tidak mempedulikan
mayoritas rakyat tetap lapar, adalah pemerintah yang memupuk segelintir
konglomerat, dan membiarkan rakyat banyak tetap papa-sengsara, baik mereka itu
"pribumi" maupun "non-pribumi"! Oleh karenanya, satu-satunya penyelesaian
adalah bahwa rakyat Indonesia harus bersatu-padu dan berjuang untuk membentuk
satu pemerintah yang adil dan bersih! Hanya dengan satu pemerintah yang adil
dan bersih, semua kita, rakyat Indonesia, baik "pribumi" maupun "non-pribumi",
tanpa mempersoalkan perbedaan suku , agama, budaya dan asal keturunan, dapat
bersama-sama, bergotong-royong sekuat tenaga membangun satu masyarakat yang
benar-benar adil dan makmur.
Pertanyaan-pertanyaan
1. ADAKAH PENDUDUK ASLI INDONESIA
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia
Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.
Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan.
2. MENGAPA TIMBUL ISU PRIBUMI DAN NON PRIBUMI
Sebenarnya sangat disayangkan bila terdapat istiah pribumi dan pribumi karena bangsa Indonesia memahami sistem BHINEKA TUNGGAL IKA , jika dimasyarakat terdapat isu isu tentang pribumi dan nonpribumi itu dikarenakan pola ikir masyarakat yang masih mengenggap bahwa dirinyalah yang terbaik.
Ada anggapan bahwa warga pribumi itu adalah warga rendahan yang tak pantas disejajarkan dengan warga nonpribumi,warga nonpribumi menganggap rendah dan remeh begitu juga hal sebalikya warga pribumi menganggap bahwa warga nonpribumi tidak berhak untuk tinggal dan menetap diwilayah mereka
Kita tidak menyangkal adanya perbedaan antara pribumi dengan non-pribumi,
sebagaimana juga perbedaan antar suku-suku yang berlainan. Akan tetapi tidak
seharusnya menitik beratkan persoalan di sini, apalagi mempertentangkan
"pribumi" dan "non-pribumi" (yang biasa dimaksudkan adalah peranakan Tionghoa).
Hakekat sesungguhynya bukanlah sebagaimana dinyatakan sementara orang:"non-
pribumi menjajah pribumi" dan harus diselesaikan dengan "membela pribumi" dan
melempar "non-pribumi" ke laut.
Isu pribumi dan pribumi timbul di karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita
3. SIAPA YANG DIMAKSUD NONPRIBUMI
Yang dimaksud dengan non pribumi adalah seseorang yang asal usul kwarganegaraannya tidak berasal dari negara tersebut, tetapi menurut saya untuk negara indonesia sebenarnya tidak ada yang disebut warga pribumi karena sebenarnya dari nenek moyang warga indonesia adalah para imigran dari bangsa lain seperti bangsa arab, cina, dan negroid, walaupun jika ada bangsa melayu itupun tersebar keberapa negara jadi bangsa melayu pun belum bisa disebut sebagai pribumi di Indonesia.
di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
4. KENAPA ISTILAH NON PRIBUMI YANG MENONJOL HANYA PADA ETNIS TIONGHOA
Kenapa istilahnon pribumi yang menonjol hanya pada etnis tionghoa karena beberapa kasus yang melibat beberapa warga tionghoa seperti:
Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia.
Bersamaandengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru.Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tihoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP.
5. SARAN UNTUK MENGHILANGKAN ISU PRIBUMI DAN NONPRIBUMI DI INDONESIA
Pada dasarnya negara Indonesia terdiri dari bebrapa suku agama dan ras. Setiap bangsa mempunyai keunggulan dan kelemahan, setiap suku juga mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kita semua harus bisa belajar kelebihan kelompok lain untuk mengatasi kekurangan sendiri, berkompetisi dengan adil untuk kemajuan masyarakat dan kemakmuran bersama. Tak pantas untuk dengki, iri-hati melihat kelebihan dan keberhasilan orang lain dan suku lain, lebih- lebih jangan pula sampai timbul minat-jahat untuk membasmi orang itu atau suku itu yang lebih unggul dari dirinya.
Suku Jawa mempunyai keunggulan, kelebihan dan kekurangan, juga demikian dengan suku Batak, suku Bugis dan suku Tionghoa di Indonesia. Keunggulan suatu suku bukan pula berarti keunggulan setiap perorangan dari suku itu. Tak sedikit peranakan Tionghoa yang menunjukkan keunggulannya di bidang perdagangan
marilah kita, seluruh rakyat Indonesia, bersatu tanpa mempersoal- kan suku yang berbeda, agama yang berbeda dan keturunan yang berbeda, untuk membentuk satu pemerintah yang adil dan bersih! Hanya dengan pemerintah yang adil dan bersih, kita bisa membangun dan mencapai satu masyarakat adil dan makmur!
Sumber